google.com, pub-8797203901921219, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Waspada Musim Kemarau, Pemerintah Perkuat Mitigasi Karhutla

)* Andhika Rachman

Memasuki pertengahan tahun 2025, Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan klasik yang datang setiap musim kemarau: kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Wilayah Sumatera Selatan menjadi salah satu titik panas yang patut menjadi perhatian nasional. Data terbaru menunjukkan bahwa empat kabupaten di provinsi tersebut Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Ilir (OI), Musi Banyuasin (Muba), dan Banyuasin telah masuk dalam kategori waspada karhutla. Situasi ini tentu bukan hal yang bisa dianggap sepele, mengingat pengalaman tahun-tahun sebelumnya yang menunjukkan betapa cepatnya api bisa meluas, menimbulkan kerugian ekologis, ekonomi, bahkan ancaman kesehatan publik.

Kepala Stasiun Klimatologi Kelas I Sumsel, Wandayantolis mengatakan Musim kemarau mulai berlangsung sejak Mei dan diperkirakan meluas pada Juni 2025, pihaknya mengingatkan masyarakat agar tetap waspada terhadap dampak cuaca yang mungkin terjadi, termasuk hujan mendadak yang disertai petir dan angin kencang.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa awal musim kemarau kali ini ditandai oleh turunnya intensitas curah hujan di berbagai wilayah, meskipun belum sepenuhnya kering. Beberapa daerah masih mengalami hujan ringan, bahkan sedang, yang menjadi bagian dari dinamika cuaca peralihan musim. Namun, kondisi ini perlu diwaspadai agar masyarakat tidak lengah terhadap potensi karhutla meskipun hujan masih terjadi di beberapa wilayah. Banyak yang mengira bahwa karena masih turun hujan, maka potensi karhutla dapat diabaikan. Padahal kenyataannya, titik-titik api bisa muncul justru saat cuaca tidak menentu, terutama ketika angin kencang dan petir menyambar lahan yang telah mengering sebagian.

Kawasan gambut di Sumatera Selatan, seperti di OKI dan Muba, menjadi wilayah dengan risiko tertinggi. Struktur tanah yang mudah mengering dan menyimpan panas membuat api bisa merambat jauh di bawah permukaan, sulit terdeteksi, dan sangat sulit dipadamkan. Meski regulasi telah diperkuat, pemerintah terus melakukan penindakan terhadap oknum yang masih melakukan pembakaran lahan. Bahkan percikan api kecil sekalipun bisa memicu kebakaran besar dalam hitungan jam, apalagi bila disertai angin kering yang kencang.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyampaikan bahwa sejumlah wilayah di Indonesia diperkirakan akan mengalami hujan dengan intensitas sedang hingga lebat. Maka dari itu, masyarakat untuk tetap siaga, serta aktif mengikuti informasi cuaca dari sumber resmi. Bila menemukan titik api atau kondisi darurat, warga diminta segera melapor ke pihak berwenang.

BNPB turut mengeluarkan imbauan nasional agar seluruh pemangku kepentingan meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana hidrometeorologi, termasuk karhutla. Kepala BNPB menegaskan bahwa sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI-Polri, dan masyarakat sipil menjadi kunci utama untuk mencegah karhutla. Deteksi dini, patroli rutin, dan edukasi kepada warga menjadi prioritas utama dalam strategi mitigasi. Dalam konteks ini, teknologi juga diandalkan termasuk penggunaan citra satelit untuk mendeteksi titik panas dan sistem peringatan dini berbasis data cuaca.

Namun demikian, ancaman karhutla tidak hanya soal api yang membakar hutan. Dampaknya lebih luas dan kompleks. Asap tebal yang menyelimuti kawasan terdampak dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), mengganggu aktivitas ekonomi, bahkan dapat memengaruhi jadwal transportasi udara dan laut, terutama di wilayah terdampak parah. Pada skala yang lebih besar, kebakaran hutan berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon, memperparah krisis iklim global yang kini semakin nyata. Oleh sebab itu, momen ini harus menjadi pengingat bahwa menjaga hutan dan ekosistemnya bukan hanya urusan satu daerah, tetapi tanggung jawab nasional, bahkan internasional.

Sebagian besar karhutla di Indonesia dipicu oleh aktivitas manusia, yang terus ditekan oleh pemerintah melalui regulasi dan penegakan hukum tegas. Pembakaran lahan untuk pertanian atau perkebunan, yang selama ini dianggap praktis, namun terus ditekan oleh kebijakan pemerintah demi kelestarian lingkungan. Padahal, kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada biaya membuka lahan secara berkelanjutan. Pemerintah dan aparat penegak hukum terus meningkatkan langkah tegas dalam menindak pelaku pembakaran lahan, sejalan dengan komitmen menjaga lingkungan. Selain imbauan, pemerintah juga terus mendorong aksi nyata melalui penegakan hukum yang tegas dan berkelanjutan.

Di sisi lain, peran masyarakat menjadi faktor yang tak kalah penting. Kesadaran kolektif untuk tidak membuka lahan dengan cara dibakar harus terus dibangun. Program desa tangguh bencana, pelibatan tokoh adat dan agama dalam penyuluhan, serta edukasi di sekolah-sekolah bisa menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk menanamkan kesadaran ekologis. Media juga memiliki peran strategis dalam membentuk opini publik dan menyebarkan informasi terkait bahaya karhutla serta langkah-langkah mitigasinya.

Kewaspadaan nasional adalah ajakan nyata untuk bertindak bersama. Mulai dari tingkat rumah tangga hingga pemerintahan pusat, dari petani hingga akademisi, semua memiliki peran dalam mencegah dan mengurangi risiko kebakaran hutan dan lahan. Sudah saatnya kita memandang karhutla bukan sebagai bencana tahunan yang “biasa”, tetapi sebagai ancaman serius terhadap keberlanjutan hidup dan masa depan bangsa.

Dengan kesadaran, kolaborasi, dan ketegasan dalam penegakan hukum, Indonesia dapat melangkah ke arah yang lebih baik dalam menghadapi tantangan musim kemarau dan ancaman karhutla. Waspada bukan berarti takut, tetapi siap dan bertindak bijak demi keselamatan bersama.

)* Pengamat Isu Strategis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *