Pemerintah Siapkan Langkah Strategis Cegah Pelemahan Ekonomi

Oleh: Dhita Karuniawati )*

Di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian, pemerintah Indonesia menunjukkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi pelemahan ekonomi. Faktor eksternal seperti konflik geopolitik, perubahan suku bunga global, serta fluktuasi harga komoditas menjadi tantangan serius yang dapat memengaruhi stabilitas ekonomi nasional. Untuk itu, pemerintah menyiapkan sejumlah langkah strategis guna menjaga daya tahan perekonomian Indonesia dan memastikan keberlanjutan pertumbuhan di masa depan.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyampaikan sejumlah jurus Pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk menghadapi pelemahan ekonomi di tengah ketidakpastian global.
Sri Mulyani mengatakan, berdasarkan data Dana Internasional Moneter (IMF) proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dikoreksi menjadi 4,7 persen, atau turun 0,4 persen poin dari sebelumnya sebesar 5,1 persen.
Pihaknya mengakui, salah satu alasan munculnya koreksi dari IMF itu karena adanya kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) yang bisa menyebabkan perlambatan di berbagai kegiatan. Dari mulai kegiatan perdagangan pasti, karena dengan kenaikan tarif yang cukup tinggi. Bahkan belum adanya ketidakpastian hubungan antara retaliasi yang dilakukan oleh Tiongkok dan respon dari Amerika Serikat.
Meskipun Indonesia koreksinya diperkiraan hanya 0,4 persen poin, Sri Mulyani memastikan bahwa Indonesia akan terus meningkatkan dari sisi respons kebijakan kita sendiri. Pertama, seperti yang sudah disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dengan Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan Indonesia masih akan terus melakukan negosiasi terhadap kebijakan tarif yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dengan proses negosiasi yang hingga saat ini masih berlangsung, pemerintah berharap agar Indonesia tidak terkena dampak langsung yang besar dari penerapan kebijakan tersebut.
Kemudian yang kedua, Presiden Prabowo Subianto telah meminta supaya dilakukan rancangan langkah-langkah deregulasi yang tujuannya tidak melulu merespons terhadap apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Tetapi, lebih kepada meningkatkan kemampuan potensi Indonesia untuk tumbuh lebih tinggi melalui berbagai langkah-langkah perbaikan iklim investasi. Langkah-langkah ini yang terus dirumuskan dan tentu akan terus dimonitor dan dijalankan sehingga confidence dari perekonomian di dalam negeri dan pelaku ekonomi bisa terjaga atau bahkan diperkuat.
Sri Mulyani memastikan, hal-hal itu yang saat ini akan diupayakan pemerintah Indonesia untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya kebijakan tarif resiprokal tidak hanya Indonesia yang terdampak perekonomiannya, tetapi seluruh negara tanpa terkecuali.
Sementara itu, Chief Economist Citi Indonesia, Helmi Arman meyakini tarif perdagangan yang diumumkan Pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap perekonomian Indonesia tidak akan berdampak signifikan, meskipun sistem perdagangan global akan berubah secara signifikan.
Helmi menjelaskan proyeksi tiga lapisan tarif yang akan diterapkan AS terhadap negara-negara mitra dagangnya. Lapisan pertama, tarif terendah sekitar 10 persen, diperkirakan akan dikenakan pada negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi dan politik erat dengan AS, seperti Jepang dan Korea Selatan. Lapisan kedua, tarif tertinggi di atas 50 persen, kemungkinan akan ditujukan kepada Tiongkok sebagai kompetitor strategis.
Helmi mengatakan meskipun dampak perang tarif akan terasa, analisis Citi menunjukkan dampaknya terhadap Indonesia relatif lebih moderat dibandingkan negara lain, berkat rasio ekspor dan investasi asing terhadap PDB yang lebih rendah.
Lapisan ketiga, tarif menengah antara 10 persen dan tarif tertinggi, akan dikenakan pada negara-negara dengan hubungan kuat baik dengan AS maupun Tiongkok. Indonesia, bersama beberapa negara ASEAN lainnya seperti Vietnam, diperkirakan termasuk dalam lapisan tarif menengah ini.
Dampak dari kebijakan tarif AS ini akan bersifat langsung dan tidak langsung. Dampak langsung berupa potensi penurunan ekspor ke AS akibat melemahnya permintaan (demand) dan hilangnya daya saing (competitiveness) produk-produk ekspor Indonesia dibandingkan negara-negara yang dikenai tarif lebih rendah.
Sementara dampak tidak langsung meliputi penurunan ekspor ke negara-negara selain AS akibat melemahnya perekonomian global dan penurunan investasi akibat terganggunya rantai pasokan global.
Helmi mengatakan, dampak moderat terhadap Indonesia atas tarif AS itu karena rasio ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan rasio Penanaman Modal Asing (FDI) terhadap PDB lebih besar. Vietnam, misalnya, diperkirakan akan mengalami dampak yang lebih signifikan.
Upaya pemerintah tentu tidak dapat berjalan efektif tanpa partisipasi aktif dari masyarakat dan dunia usaha. Kesadaran akan pentingnya efisiensi, inovasi, dan adaptasi terhadap perubahan menjadi kunci dalam menjaga daya saing di era global. Sektor swasta diharapkan terus berinvestasi, meningkatkan kualitas produk, dan membuka lebih banyak kesempatan kerja. Sementara itu, masyarakat diharapkan mendukung program pemerintah melalui konsumsi produk lokal dan pemanfaatan fasilitas yang telah disediakan.
Pelemahan ekonomi adalah ancaman nyata yang tidak dapat diabaikan, terutama di tengah ketidakpastian global yang semakin kompleks. Meskipun demikian, sejumlah indikator menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia tetap berada dalam jalur yang positif. Pemerintah Indonesia, melalui berbagai kebijakan strategis, berkomitmen untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, Indonesia diyakini mampu melewati tantangan dan menciptakan masa depan ekonomi yang lebih tangguh dan sejahtera.

*) Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *