Oleh : Andi Mahesa )*
Di tengah dinamika global yang penuh tantangan, Indonesia terus meneguhkan langkah menuju kemandirian energi sebagai salah satu fondasi utama pembangunan nasional. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmen kuat dalam menjalankan agenda strategis tersebut melalui pendekatan yang progresif dan terbuka, termasuk membuka peluang kerja sama bilateral dengan mitra-mitra strategis seperti Tiongkok.
Pada pertemuan bilateral antara Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri China, Li Qiang, berbagai program unggulan pemerintah menjadi pokok bahasan utama. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa di antara program yang dibahas adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG), swasembada energi, dan pembangunan tanggul raksasa (giant sea wall) di pesisir utara Pulau Jawa. Pertemuan ini menandai dimulainya babak baru dalam relasi ekonomi Indonesia-China yang lebih terarah pada proyek-proyek yang memiliki dampak besar terhadap pembangunan berkelanjutan dan ketahanan nasional.
Swasembada energi merupakan salah satu dari empat program unggulan pemerintah yang kini diprioritaskan bersama Program Makan Bergizi, Swasembada Pangan, dan Hilirisasi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyampaikan keyakinannya bahwa Indonesia dapat mewujudkan swasembada energi dalam empat hingga lima tahun ke depan. Optimisme ini bukan tanpa dasar. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pada masa lalu pernah dinobatkan sebagai salah satu Macan Asia, dengan posisi strategis sebagai negara surplus energi, khususnya dalam komoditas minyak dan gas.
Kini, dengan pengalaman historis dan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia berada dalam posisi yang memungkinkan untuk merebut kembali kejayaannya di sektor energi. Namun, tantangan zaman menuntut pendekatan yang berbeda. Jika dahulu kemandirian energi bergantung pada eksplorasi minyak dan gas konvensional, kini pendekatannya harus lebih inklusif, efisien, dan berkelanjutan. Transisi energi menjadi panggilan zaman, dan Indonesia harus menjawabnya dengan langkah konkret.
Di sinilah pentingnya kerja sama bilateral yang strategis. Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi sekaligus Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, menekankan bahwa sektor energi merupakan salah satu dari tiga bidang utama yang paling diminati oleh investor asal Tiongkok, selain hilirisasi dan manufaktur. China bukan hanya unggul dalam teknologi dan pendanaan, tetapi juga telah menunjukkan kemajuan luar biasa dalam pengembangan energi hijau dan sistem transportasi ramah lingkungan.
Kolaborasi dengan Tiongkok membuka peluang yang sangat luas untuk pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia. Dari tenaga surya dan tenaga angin, hingga bioenergi dan efisiensi energi di sektor industri, seluruhnya membutuhkan dukungan teknologi, investasi, dan keahlian yang telah dimiliki oleh mitra-mitra global seperti China. Selain itu, pengalaman Tiongkok dalam membangun infrastruktur energi bersih berskala besar dapat menjadi model yang relevan dan adaptif untuk diterapkan di berbagai wilayah Indonesia.
Langkah pemerintah dalam menggalang kemitraan dengan negara lain bukan semata-mata untuk mendatangkan investasi, tetapi juga sebagai strategi percepatan dalam pembangunan infrastruktur energi nasional yang efisien dan rendah emisi. Kerja sama ini menjadi katalis bagi tercapainya target emisi nol bersih (net zero emission) yang telah dicanangkan Indonesia pada tahun 2060. Artinya, tidak hanya berdampak pada ketahanan energi, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan dan kesehatan masyarakat jangka panjang.
Tentu saja, keberhasilan program swasembada energi tidak hanya bergantung pada kerja sama internasional, tetapi juga membutuhkan konsolidasi kebijakan di dalam negeri. Pemerintah perlu memastikan bahwa seluruh lini pemerintahan, dari pusat hingga daerah, memiliki semangat yang sama dalam mewujudkan kemandirian energi. Regulasi yang mendukung investasi energi bersih, insentif untuk pengembangan teknologi, serta penguatan sumber daya manusia di sektor energi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari strategi besar ini.
Lebih jauh, partisipasi aktif masyarakat juga menjadi elemen krusial dalam transisi menuju swasembada energi. Kesadaran untuk menggunakan energi secara bijak, mendukung pemanfaatan energi terbarukan, serta mendorong gaya hidup hemat energi harus terus digalakkan. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai fasilitator edukasi dan kampanye nasional mengenai pentingnya kemandirian energi bagi masa depan bangsa.
Kita patut mengapresiasi langkah pemerintah yang tidak hanya berpandangan jangka pendek, tetapi juga berpikir strategis dan visioner. Melalui kerja sama bilateral yang terarah dan produktif, Indonesia tidak hanya memperkuat fondasi ekonomi nasional, tetapi juga menunjukkan posisinya sebagai negara berkembang yang siap menyongsong masa depan energi yang bersih dan berkelanjutan.
Dalam konteks global yang semakin kompetitif, kemandirian energi adalah harga mati. Negara yang mampu memenuhi kebutuhan energinya sendiri akan memiliki posisi tawar yang kuat di panggung internasional dan daya tahan ekonomi yang lebih baik dalam menghadapi krisis. Indonesia, dengan segala potensinya, memiliki semua prasyarat untuk mencapai hal tersebut.
Kini saatnya seluruh elemen bangsa bersatu padu. Pemerintah telah membuka jalan dan meletakkan fondasi. Dunia internasional pun merespons positif dengan peluang kerja sama yang menjanjikan. Maka, tinggal bagaimana kita semua, sebagai bagian dari bangsa ini, memberikan dukungan dan kontribusi nyata.
)* Penulis adalah pemerhati isu lingkungan hidup dan energi.