Oleh: Ruben Wanimbo )*
Menjelang 1 Desember, sejumlah daerah di Papua kembali memasuki fase kewaspadaan. Tanggal ini kerap dikaitkan oleh sebagian kelompok dengan narasi kemerdekaan Papua, khususnya oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan jaringan simpatisannya. Padahal, bagi negara dan mayoritas masyarakat Papua, tanggal tersebut tidak memiliki dasar hukum sebagai hari kemerdekaan. Justru, momentum ini berulang kali dimanfaatkan kelompok tertentu untuk memprovokasi masyarakat dan menciptakan kegaduhan sosial. Oleh karena itu, penolakan terhadap provokasi 1 Desember perlu dipahami sebagai upaya menjaga keamanan bersama, bukan sebagai pembatasan ruang demokrasi.
Komandan Kodim 1710/Mimika, Letkol Inf M. Slamet Wijaya, menegaskan bahwa situasi keamanan di beberapa distrik pedalaman seperti Jila, Alama, Hoeya, dan Tembagapura masih berada dalam kategori rawan terkendali. Meski Kota Timika relatif aman, wilayah pegunungan yang berbatasan dengan area konflik tertentu tetap menjadi perhatian serius aparat. Kewaspadaan ini bukan tanpa alasan, sebab pengalaman tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa momentum 1 Desember sering dijadikan ajang unjuk provokasi oleh kelompok separatis bersenjata.
Pernyataan Letkol Slamet menunjukkan bahwa aparat tidak sedang membatasi warga, tetapi memastikan masyarakat bisa melaksanakan aktivitas seperti biasa tanpa rasa takut. Ia menekankan bahwa kehadiran TNI di wilayah-wilayah rawan bersifat protektif, bukan represif, serta bertujuan mencegah gangguan keamanan pasca berbagai operasi penindakan terhadap kelompok separatis. Pemerintah daerah, TNI, Polri, dan institusi terkait lainnya telah meningkatkan koordinasi agar seluruh wilayah Mimika tetap aman dan terkendali menuju pergantian tahun yang biasanya diwarnai padatnya kegiatan masyarakat.
Di wilayah Papua Pegunungan, pengamanan 1 Desember dilakukan dengan pendekatan berbeda. Wakapolres Jayawijaya, Kompol F.D. Tamaela, menyampaikan bahwa strategi pengamanan mengedepankan pendekatan humanis dan persuasif. Aparat tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi melakukan komunikasi aktif dengan tokoh masyarakat, pelajar, mahasiswa, hingga kelompok sosial agar situasi keamanan menjadi tanggung jawab bersama. Pendekatan ini sangat relevan mengingat Desember adalah bulan yang sarat kegiatan budaya, keagamaan, serta perayaan Hari Jadi Kota Wamena.
Melalui apel gabungan dan Show of Force, aparat berupaya memberikan rasa aman sekaligus memastikan masyarakat mengetahui bahwa negara hadir untuk menjaga stabilitas. Kompol Tamaela mengajak seluruh warga untuk terlibat aktif dalam menjaga keamanan, terutama dalam mencegah potensi konflik yang muncul dari provokasi kelompok separatis.
Sementara itu di Papua Barat Daya, Polresta Sorong juga memperlihatkan peningkatan pengamanan menjelang 1 Desember. Kompol H. Andi Muhammad Nurul Yaqin menjelaskan bahwa patroli rutin digelar secara intensif pada siang dan malam hari untuk mengantisipasi potensi gangguan di wilayah yang dianggap sensitif. Berdasarkan laporan intelijen, situasi Sorong masih aman dan kondusif, namun kewaspadaan tetap ditingkatkan agar aktivitas masyarakat tidak terganggu oleh aksi provokatif.
Peningkatan pengamanan ini menjadi penting karena tanggal 1 Desember kerap dijadikan momentum oleh kelompok tertentu untuk mengklaim sebagai hari kemerdekaan Papua. Padahal, narasi yang digaungkan tidak memiliki dasar konstitusional dan justru memicu keresahan masyarakat. Upaya preventif melalui patroli gabungan dan koordinasi dengan berbagai instansi menunjukkan komitmen aparat untuk menjaga stabilitas sosial tanpa harus mengganggu ruang publik masyarakat yang lebih luas.
Penolakan terhadap provokasi 1 Desember tidak hanya datang dari aparat keamanan, tetapi juga dari elemen masyarakat sipil. Aliansi Merah Putih (AMP) Bergerak di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, misalnya, menyuarakan penolakan terhadap aktivitas kelompok-kelompok yang dianggap memiliki afiliasi dengan gerakan separatis seperti AMP dan KNPB. Mereka menilai bahwa narasi yang dibawa kelompok tersebut dapat memengaruhi mahasiswa Papua dan menciptakan keresahan di daerah domisili mereka, terutama melalui aksi turun ke jalan yang dianggap dapat memicu potensi bentrokan.
Pernyataan kelompok masyarakat ini menunjukkan adanya kesadaran kolektif bahwa isu Papua tidak hanya berdampak di wilayah timur Indonesia. Di sejumlah kota besar, aktivitas kelompok tertentu kerap menimbulkan ketegangan sosial dan disalahgunakan sebagai alat propaganda untuk membenarkan agenda separatis. Aliansi masyarakat di luar Papua pun menekankan bahwa penolakan terhadap aksi provokatif merupakan bentuk loyalitas terhadap NKRI serta upaya menjaga stabilitas sosial bagi seluruh warga.
Narasi untuk menolak provokasi 1 Desember bukanlah upaya membungkam aspirasi, melainkan menolak eksploitasi isu Papua oleh kelompok separatis yang sering memanipulasi sentimen masyarakat. Penting dipahami bahwa stabilitas Papua bukan hanya tanggung jawab aparat atau tokoh adat semata, tetapi juga seluruh warga bangsa. Papua memiliki peran strategis dalam bingkai NKRI, dan upaya menjaga keamanan merupakan langkah penting agar pembangunan di wilayah ini dapat terus berlanjut tanpa gangguan.
Pada akhirnya, momentum 1 Desember seharusnya tidak dilihat sebagai pemicu perpecahan, tetapi sebagai pengingat bahwa masyarakat Papua berhak hidup damai tanpa adanya provokasi separatis. Negara dan aparat keamanan menunjukkan komitmen untuk menjaga situasi tetap kondusif, sementara masyarakat di Papua dan berbagai daerah lain turut mengambil bagian dalam menjaga persatuan. Dengan demikian, setiap provokasi yang mencoba mengganggu ketertiban umum patut ditolak demi masa depan Papua yang lebih baik, aman, dan sejahtera dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
*Penulis merupakan Jurnalis Independen Papua
Menolak Provokasi 1 Desember, Jaga Papua Tetap Damai
