Oleh: Yasir Gema Wirawan)*
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah tak hanya menjadi kebijakan strategis dalam memerangi stunting dan memperbaiki asupan gizi generasi muda, tetapi juga telah menjelma sebagai motor penggerak ekonomi rakyat di berbagai daerah.
Melalui pendekatan yang terintegrasi, program ini menghadirkan ruang partisipasi luas bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk terlibat dalam rantai pasok makanan bergizi yang didistribusikan ke jutaan penerima manfaat di seluruh Indonesia.
Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, menegaskan bahwa pemerintah terus melakukan penyempurnaan berkelanjutan agar manfaat MBG semakin maksimal. MBG memiliki dua sasaran besar, yakni memperbaiki gizi anak-anak Indonesia sekaligus memberikan manfaat ekonomi langsung kepada pelaku UMKM lokal di seluruh penjuru negeri.
Hingga Oktober 2025, tercatat ribuan dapur umum MBG telah berdiri, dan setiap dapur rata-rata melibatkan sedikitnya 15 pemasok lokal, mulai dari petani, peternak, hingga penyedia pangan olahan. Ini menciptakan efek berantai yang mendorong roda ekonomi lokal berputar lebih cepat.
Deputi Bidang Usaha Kecil Kementerian UMKM, Temmy Satya Permana, menambahkan dimensi penting dari keterlibatan UMKM, khususnya melalui pendekatan hilirisasi komoditas unggulan seperti madu yang dapat dijadikan sebagai sumber pangan bergizi tinggi yang berpotensi menjadi bagian dari menu MBG.
Kandungan energi, vitamin, dan senyawa bioaktif dalam madu dinilai sangat baik untuk mendukung daya tahan tubuh anak dan mendukung kualitas pembelajaran mereka. Namun, Kementrian UMKM juga mencatat adanya kesenjangan antara kebutuhan dan produksi madu di dalam negeri. Kebutuhan nasional diperkirakan mencapai 7.500 ton per tahun, sedangkan produksi dalam negeri baru sekitar 2.000 ton.
Peluang inilah yang kemudian dimanfaatkan melalui program Rumah Produksi Bersama (RPB) atau Factory Sharing, yang memungkinkan pelaku UMKM mengakses fasilitas produksi kolektif, pelatihan teknologi, dan pendampingan sertifikasi mutu. Hal ini merupakan langkah konkret pemerintah dalam mendorong peningkatan kapasitas dan daya saing produk UMKM agar bisa masuk ke rantai pasok MBG secara berkelanjutan.
Tenaga Ahli Badan Gizi Nasional (BGN), Imam Bachtiar, menilai pelibatan UMKM dalam program MBG sangat strategis. Pendekatan penyusunan menu berbasis potensi lokal di tiap daerah adalah langkah yang efisien dan efektif. Selain mempersingkat jalur distribusi, strategi ini juga memberdayakan ekonomi lokal. Bahan pangan lokal seperti madu, sagu, atau produk khas daerah lainnya dapat diintegrasikan ke dalam menu MBG, asalkan memenuhi standar gizi dan keamanan pangan.
Sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan mitra pelaksana menjadi kunci utama keberhasilan program MBG ke depan. Ruang adaptasi menu yang diberikan kepada pemerintah daerah juga menjadi bukti bahwa pemerintah mengedepankan fleksibilitas dan relevansi dalam pelaksanaan program nasional ini.
Di lapangan, dampak nyata program MBG terhadap ekonomi lokal terlihat dari data Satgas MBG Provinsi NTB. Ketua Satgas, Ahsanul Khalik, menjelaskan bahwa hingga September 2025 telah terbentuk 311 satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) aktif yang melayani hampir satu juta penerima manfaat di seluruh kabupaten/kota di NTB. Dalam prosesnya, program ini berhasil menyerap lebih dari 13.000 tenaga kerja local, mulai dari juru masak, pengemudi, petugas persiapan makanan, hingga tim kebersihan dan keamanan.
Tak hanya itu, sebanyak 548 UMKM lokal dan 29 koperasi telah menjadi mitra aktif MBG di NTB. MBG bukan sekadar intervensi kesehatan, tetapi juga merupakan stimulus ekonomi langsung bagi pelaku usaha rakyat. Dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai bagian dari proses produksi dan distribusi, MBG turut memperkuat daya beli dan memperluas basis ekonomi produktif di daerah.
Kepala Badan Pusat Statistik NTB, Wahyudin, menyampaikan bahwa pihaknya tengah melakukan survei mendalam untuk mengukur dampak program MBG terhadap penurunan kemiskinan dan peningkatan serapan tenaga kerja. Satu SPPG rata-rata melibatkan 47 tenaga kerja dan memiliki perputaran dana harian sebesar Rp15.000 per penerima manfaat yang terdiri dari Rp10.000 untuk makanan, Rp3.000 untuk upah tenaga kerja, dan Rp2.000 untuk operasional dapur. Dengan jumlah penerima manfaat yang besar, program ini menjadi variabel penting dalam menggerakkan konsumsi rumah tangga dan memperkuat struktur ekonomi lokal.
Dalam prosesnya, MBG menghadapi berbagai tantangan, seperti distribusi makanan Namun pendekatan pemerintah tetap terbuka terhadap kritik dan perbaikan. Salah satu usulan dari masyarakat yang cukup menarik adalah pemberdayaan kantin sekolah sebagai mitra pelaksana MBG, demi memperkuat pengawasan dan memangkas jalur distribusi.
Dari berbagai data dan pandangan tersebut, semakin terang bahwa MBG telah menciptakan ekosistem baru bagi pertumbuhan ekonomi lokal yang berbasis komunitas. UMKM kini tidak lagi berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari sistem nasional yang inklusif, terstruktur, dan terukur. Pemerintah tidak hanya menciptakan pasar bagi produk rakyat, tetapi juga membangun daya saing dan kapasitas produksi UMKM agar dapat tumbuh bersama program-program strategis nasional.
Program MBG menjadi bukti nyata bahwa kebijakan sosial yang dirancang secara holistik dapat melahirkan dampak ekonomi yang luas. Keterlibatan UMKM dalam rantai pasok MBG menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak harus dimulai dari industri besar, tetapi bisa tumbuh dari dapur-dapur kecil, pasar tradisional, dan koperasi desa. Dari sanalah roda ekonomi rakyat bergerak, dan dari sanalah pula cita-cita Indonesia Emas 2045 bisa ditopang dengan kokoh.
)*Penulis merupakan Pengamat Ekonomi UMKM