Jayapura – Jaringan Kolaborasi Pemuda (JAKOP) semakin menunjukkan relevansinya sebagai ruang dialog lintas denominasi dan kebangsaan. Meski baru berusia beberapa hari, inisiatif ini mulai memantik optimisme tentang hadirnya wadah pemuda gereja yang mampu menjembatani isu kemanusiaan, perdamaian, dan pembangunan Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam sesi diskusi panel Jaringan Komunikasi Oikumene Papua (JAKOP) di Hotel Mercure Jayapura, (03/12/2025), Pdt. Fredy Toam menegaskan bahwa posisi Papua sebagai bagian sah Republik Indonesia bersifat final. Ia menyampaikan bahwa kehidupan berbangsa sudah berada dalam kedaulatan Tuhan.
“Papua berada dalam rencana Tuhan sebagai bagian dari Indonesia, sehingga seruan mengenai Papua merdeka tidak sesuai dengan kehendak-Nya,” ujar Pdt. Fredy Toam.
Pandangan tersebut ia lanjutkan dengan penjelasan historis. Menurutnya, jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai negara modern, masyarakat Papua telah mengenal Bahasa Indonesia lewat misionaris Otto dan Geisler.
“Tuhan mengutus para misionaris itu membawa Injil dengan bahasa yang kemudian menjadi bahasa persatuan bangsa,” tegas Pdt. Fredy Toam.
Ia juga menyoroti pentingnya penerimaan terhadap perbedaan sebagai fondasi kemajuan bangsa. Keberagaman suku, budaya, dan etnis dipandang sebagai anugerah yang harus dirawat melalui kedamaian.
“Damai harus dimulai dari diri sendiri sebelum dapat dihadirkan bagi gereja, kota, dan bangsa,” tambah Pdt. Fredy Toam.
Di bagian lain paparannya, ia mengajak seluruh unsur gereja untuk memberi pengampunan atas luka-luka masa lalu demi menghadirkan rekonsiliasi. Setelah itu, ia memberikan apresiasi bagi lahirnya JAKOP.
“Baru enam hari berdiri, JAKOP telah membawa semangat kebersamaan untuk mencari solusi berbagai persoalan bangsa,” pungkas Pdt. Fredy Toam.
Ia menilai JAKOP dapat menjadi mitra strategis pemerintah untuk mendorong kesejahteraan melalui pembangunan yang selaras dengan amanat firman Tuhan. Selain itu, ia mengingatkan tantangan global seperti perubahan iklim, krisis ekonomi, transformasi digital, hingga ketimpangan sosial yang menuntut kolaborasi lintas elemen.
Sementara itu, Pdt. Dominggus Noya menekankan pentingnya oikumene dan nasionalisme bagi pemuda gereja untuk menjaga perdamaian Papua. Ia mengingatkan masih adanya sebagian mahasiswa di beberapa kampus yang menyuarakan ide Papua merdeka.
“Fokus dialog harus diarahkan kepada manusianya, bukan pada isu politik separatis,” ujar Pdt. Dominggus Noya.
Ia melihat JAKOP berperan besar dalam memfasilitasi trauma healing berbasis standar psikologi klinis bagi generasi muda Papua yang membutuhkan pemulihan.
“Ada banyak anak muda yang memerlukan pendampingan profesional agar bisa pulih dan kembali berdaya,” tambah Pdt. Dominggus Noya.
Dalam konteks oikumene, ia menilai JAKOP dapat menjadi inisiator dialog rutin lintas denominasi yang inklusif. Berdasarkan pengalamannya bekerja dengan organisasi kepemudaan gereja, eksklusivitas masih kerap ditemukan di beberapa wilayah pegunungan Papua.
Lebih jauh, Pdt. Dominggus Noya menilai JAKOP memiliki peluang besar menjadi lembaga think tank yang memberikan masukan konstruktif bagi pemerintah.
“JAKOP dapat memberi rekomendasi kebijakan secara rutin melalui forum-forum diskusi,” tutup Pdt. Dominggus Noya.
Dengan berbagai pandangan tersebut, JAKOP makin dipandang sebagai ruang strategis yang mempertemukan kekuatan moral gereja dan semangat kebangsaan demi mewujudkan Papua yang damai, inklusif, dan sejahtera dalam bingkai Indonesia.
